Pengikut

Selasa, 30 November 2010

Utang Kita

Selamat Datang di Blog Positif Negatif

Utang kita (Indonesia), terutama utang luar negeri, baik utang pemerintah maupun swasta, sudah semakin besar. Berdasarkan data Perkembangan Utang Negara (Pinjaman Luar Negeri & Surat Berharga Negara), Edisi Juni 2010, yang dipublikasikan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan RI, Posisi Utang Pemerintah pada Mei 2010 telah mencapai Rp.1.609,31 triliun atau USD.175,31 miliar. Terdiri dari Pinjaman LN sebesar USD 63,46 miliar dan SBN sebesar USD 111,84 miliar.


Dalam data statistik tersebut, BI dan Kemkeu mendefinisikan utang luar negeri sebagai utang penduduk (resident) yang berdomisili di suatu wilayah teritori ekonomi kepada bukan penduduk (non resident). Konsep terminologi utang luar negeri mengacu pada IMF’s External Debt Statistic: Guide for compilers and Users (2003), beberapa ketentuan pemerintah RI dan Peraturan BI.

Besarnya jumlah utang luar negeri Indonesia itu, telah mencemaskan. Kendati pemerintah berusaha meyakinkan bahwa semakin tingginya nilai nominal utang itu tidak perlu dicemaskan. Karena ratio utang Indonesia terhadap PDB kini sudah berada dalam zona aman yakni 26 persen dari PDB.

Moody’s Investors Service pada (21/6/2010) juga menaikkan peringkat utang Indonesia berdominasi rupiah dan mata uang asing dari stabil menjadi positif dengan level Ba3, atau satu level di bawah investment grade (level layak investasi). Sebagaimana dikutip Reuters Senin (21/6/2010), Moody’s Investors Service menyebut dengan demikian Indonesia memiliki kapasitas yang kuat untuk mewujudkan pertumbuhan berkelanjutan, stabilitas dan efektifitas keuangan dan kebijakan moneter.

Sebelumnya, Maret 2010, Standard & Poor’s juga meningkatkan rating utang Indonesia berdominasi mata uang asing dua tingkat di bawah investment grade. Bahkan Januari 2010, Fitch Ratings telah meningkatkan rating Indonesia menjadi satu tingkat di bawah level layak investasi (investment grade).

Namun, justru gencarnya puja-puji ini yang perlu diwaspadai. Pemerintah boleh bangga dengan kenaikan peringkat ini. Tapi kita mendukung pernyataan Menkeu Agus Martowardojo dalam menanggapi hal ini, pemerintah harus semakin berhati-hati dalam menetapkan kebijakan fiskal dan moneter.

Sebab naiknya peringkat utang tersebut juga bermakna bahwa Indonesia yang terus didorong lembaga dan negara-negara maju (kreditor) untuk melanjutkan ketergantungan meminjam (berutang), untuk membayar utang dan bunga yang jatuh tempo, tetapi bukan lagi pinjaman lunak (berbunga rendah) melainkan dengan pinjaman komersial berbunga lebih tinggi. Sehingga, kenaikan peringkat utang ini bisa menjadi perangkap jika pemerintah tidak berhati-hati.

Pemerintah, maupun pihak swasta seharusnya lebih berhati-hati, jangan-jangan penawaran pinjaman luar negeri itu justru diskenariokan untuk melanggengkan ketergantungan dan sekaligus mengeruk habis sumber daya alam Indonesia, sebagaimana telah terjadi selama ini.

Pemerintah maupun swasta jangan lagi selalu bangga menerima tawaran negara lain atau investor asing yang bersedia memberikan utang, tanpa peruntukan produktif. Jangan lagi ada proyek yang kurang dirasakan manfaatnya tetapi sengaja diada-adakan untuk menampung uluran dana utang. Apalagi bila pemberian pinjaman tersebut diembel-embeli persyaratan yang lebih menguntungkan lembaga atau negara kreditor dan merugikan Indonesia. Antara lain, seperti terjadi selama ini, dipersyaratkan membeli barang produk dan jasa konsultan dari negara kreditor.

Sadar atau tidak, sesungguhnya ketergantungan kita pada utang telah mengakibatkan kedaulatan pengelolaan ekonomi Indonesia terampas. Kerap kali negara-negara kreditor, melalui Bank Dunia dan IMF, mengintervensi perumusan kebijakan ekonomi Indonesia, sesuai kepentingan mereka. Salah satu yang paling nyata dan berdampak luas adalah langkah IMF yang mendikte Indonesia memberlakukan ekonomi pasar bebas. IMF memaksa pemerintah Indonesia memprivatisasi BUMN serta menghapus subsidi secara total. Bahkan ‘memaksa’ Indonesia menetapkan kebijakan privatisasi BUMN itu dalam Ketetapan MPR. Bukankah hal ini telah membuat kemandirian ekonomi Indonesia semakin rapuh yang pada gilirannya bermuara pada proses penyengsaraan rakyat banyak?

Karena itu, marilah kita hentikan sindrom kebijakan mencari pinjaman luar negeri itu, dengan menggalang kekuatan sendiri dan menegakkan kedaulatan ekonomi negara ini. Memang, pengurangan (penghentian) utang luar negeri, itu memerlukan pemimpin yang visioner dan punya integritas tinggi. Berani bersikap, jujur dan sungguh-sungguh antikorupsi. Akan sangat sulit meninggalkan ketergantungan (ketagihan) berutang jika korupsi masih merajalela dan bahkan semakin canggih. Sebab korupsi telah membuat rakyat semakin sengsara yang pada gilirannya membuat mereka apatis.

Korupsi telah mengakibatkan kesiapan rakyat untuk berkorban, bekerja keras dan berpartisipasi semakin rendah. Termasuk dalam hal keikhlasan rakyat (terutama golongan menengah ke atas) membayar pajak. Padahal, kesadaran rakyat (golongan menengah ke atas) membayar pajak sangat diyakini akan mampu mengurangi ketergantungan pemerintah pada utang luar negeri. Hal ini akan bergerak, manakala pemerintah (Presiden) lebih visioner, jujur dan sungguh-sungguh anti koprupsi. Redaksi (Berita Indonesia 78)

Sumber : http://www.beritaindonesia.co.id/visi-berita/utang-kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Untuk Kebaikan Semua